Bupati Bekasi Turun Tangan: Puluhan Pengembang Ngotot Tak Serahkan Fasos-Fasum ke Pemkab

Ilustrasi Perumahan

Kabupaten Bekasi -POLEMIK fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) di sejumlah perumahan di Kabupaten Bekasi makin memanas. Puluhan pengembang perumahan masih enggan menyerahkan fasos-fasum kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi, meski sudah puluhan tahun berlalu sejak kawasan perumahan dibangun.

 

Padahal, aturan mengenai penyerahan fasos dan fasum telah diatur tegas dalam berbagai regulasi, mulai dari UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hingga Permendagri No. 9 Tahun 2009. Di tingkat lokal, Perda Kabupaten Bekasi No. 9 Tahun 2017 juga menjadi pedoman hukum yang wajib dipatuhi pengembang.

 

Namun, realitanya tidak demikian. Beberapa pengembang telah menguasai fasos-fasum hingga 30 tahun lebih, tanpa ada proses serah terima ke Pemkab.

 

Hal ini bukan hanya merugikan pemerintah daerah dari sisi aset dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga merugikan warga sebagai konsumen yang hak-haknya diabaikan.

 

Oknum Desa Diduga Main Mata

Masalah semakin kompleks ketika sejumlah kepala desa justru ikut mengelola lahan fasos-fasum yang belum diserahkan secara resmi ke Pemkab.

Praktik ini dilakukan tanpa izin Bupati Bekasi, cukup bermodal surat pinjam kepada pengembang.

Parahnya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang seharusnya mengawasi dan melindungi hak warga, malah cenderung pasif dan mengikuti kemauan kepala desa.

Padahal, secara hukum, fasos-fasum adalah milik Pemkab Bekasi, bukan aset desa. Jika kepala desa ingin ikut mengelola, hal itu harus dilakukan bersama warga dan atas izin resmi dari Bupati.

Jika tidak, penggunaan dana desa untuk pembangunan di atas tanah yang belum diserahkan secara legal, berpotensi menjadi temuan KPK.

Contoh Kasus: Mustika Grande

Salah satu contoh nyata adalah Perumahan Mustika Grande di Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, yang sudah berdiri lebih dari 15 tahun.

Hingga kini, fasos-fasumnya belum diserahkan ke Pemkab. Anehnya, jika warga ingin renovasi rumah ibadah, mereka masih harus meminta izin ke pengembang.

Pertanyaannya, apa peran Pemerintah Desa Burangkeng? Warga sudah membayar PBB setiap tahun, tapi hak-haknya sebagai pemilik rumah tak dilindungi. Pengembang pun tetap memegang kendali atas fasilitas umum di kawasan tersebut.

Warga sudah mengadukan kasus ini ke berbagai lembaga, termasuk Presiden, Gubernur Jawa Barat, Bupati, hingga Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Tarkim) Kabupaten Bekasi. Namun, hingga kini belum ada hasil konkret.

Tim Percepatan Penyerahan Fasos-Fasum yang dibentuk pada era Pj Bupati Dani Ramdan pun tak menunjukkan kinerja nyata.

DPRD dan Desa Perlu Dievaluasi

Kinerja DPRD Kabupaten Bekasi juga disorot. Lembaga yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, justru dianggap terlalu percaya pada penjelasan Dinas Tarkim tanpa verifikasi mendalam. Dalam kasus Mustika Grande, lokasi kantor pengembang jelas, namun tak ada langkah tegas dari DPRD.

Begitu pula dengan Pemerintah Desa Burangkeng, yang diduga malah terlibat dalam pengelolaan lahan yang bukan menjadi kewenangannya.

Awas Politisasi Jelang Pilkades

Tahun 2026 nanti akan digelar Pilkades serentak. Jika kasus fasos-fasum saja tak kunjung selesai, bagaimana warga bisa yakin Pilkades nanti berlangsung jujur dan adil?

Bukan mustahil, ada calon kepala desa yang “bermain mata” dengan pengembang demi kepentingan politik. Situasi ini harus jadi perhatian serius Bupati Bekasi dan DPRD.

Warga berhak mendapat fasilitas umum yang layak, pengelolaan yang transparan, dan perlindungan hukum sesuai UU Perlindungan Konsumen.

Jika negara abai, warga tidak punya pilihan selain memperjuangkan haknya sendiri. Karena itu, pengawasan dari DPRD dan ketegasan Bupati Bekasi sangat ditunggu.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *