Kusumayati belum menjalani masa hukumannya,Pengadilan Negeri Karawang telah menjatuhkan vonis pidana penjara selama 1 tahun 2 bulan
Karawang – Babak akhir perkara pidana pemalsuan tanda tangan yang melibatkan terdakwa Kusumayati, ibu kandung dari korban Stephanie Sugianto, menyisakan tanda tanya besar. Meskipun Pengadilan Negeri Karawang telah menjatuhkan vonis pidana penjara selama 1 tahun 2 bulan, Kusumayati hingga kini belum menjalani masa hukumannya.
Hal ini terjadi setelah adanya putusan banding yang menetapkan hukuman percobaan dengan syarat khusus. Namun yang menjadi sorotan utama, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Karawang diduga lalai mengeksekusi isi amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Putusan Pengadilan Negeri Karawang Nomor 143/Pid.B/2024/PN Kwg, yang dibacakan pada Rabu, 20 November 2024, menyatakan bahwa terdakwa Kusumayati terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
Putusan menyebut:
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan.”
Namun pada tingkat banding, putusan itu diubah. Melalui Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 434/PID/2024/PT BDG, Kusumayati dijatuhi hukuman 10 bulan penjara dengan masa percobaan selama 1 tahun, serta dikenai syarat khusus yang harus dilaksanakan dalam waktu 3 bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Syarat khusus tersebut adalah:
1. Menyerahkan daftar harta bersama yang diperoleh selama pernikahan dengan almarhum Sugianto kepada ahli waris, Stephanie Sugianto.
2. Melakukan audit menyeluruh atas operasional PT Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) Bimajaya Mustika sejak tahun 2012.
Mahkamah Agung kemudian menguatkan putusan banding tersebut melalui putusan kasasi Nomor 697 K/Pid/2025, dan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh JPU Karawang. Dengan demikian, putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah) sejak 20 Maret 2025.
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Buana Perjuangan Karawang, Zarisnov Arafat, menegaskan bahwa tanggung jawab atas eksekusi sepenuhnya berada di tangan JPU.
“Terkait syarat khusus itu yang harus disorot adalah JPU-nya, karena tidak menjalankan amar putusan. Ini merupakan tanggung jawab mutlak dari kejaksaan,” ujar Arafat saat diwawancarai di Karawang, Rabu (25/6/2025).
Ia juga menyoroti ketidaksesuaian putusan banding dengan norma hukum pidana umum, karena perkara dengan pasal 263 dan 266 KUHP semestinya dijatuhi pidana pokok (bukan percobaan), mengingat ancaman hukumannya di atas lima tahun.
Fakta menunjukkan bahwa hingga bulan Juni 2025, daftar harta bersama belum diserahkan secara sah dan lengkap, serta audit independen PT EMKL Bimajaya Mustika belum dilakukan oleh KAP yang disepakati kedua belah pihak, melainkan hanya muncul surat audit sepihak oleh terdakwa tanpa transparansi dan kesepakatan bersama.
JPU Kejari Karawang terkesan pasif, tidak mengambil langkah konkret untuk menegakkan pelaksanaan pidana bersyarat yang diatur jelas dalam amar putusan.
Terkait hal tersebut, korban Stephanie Sugianto sekaligus anak dari terdakwa, menyampaikan kekecewaannya atas sikap pasif aparat penegak hukum terkait putusan yang sudah inkrah tersebut.
“Kami tidak meminta lebih. Hanya meminta agar negara menegakkan putusan pengadilan yang sudah jelas. Tapi yang kami hadapi justru kebisuan dari JPU,” ujar Stephanie.
Pakar hukum menilai bahwa kasus ini patut menjadi perhatian Jamwas (Jaksa Agung Muda Pengawasan) dan Jampidum karena menyangkut kelalaian struktural dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang merugikan korban.
Redaksi telah berupaya mengkonfirmasi perkara tersebut kepada JPU, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi yang diberikan.