Oleh: [jurnalis Adventure/ Dedy Satrya]
Udara pagi di Kledung, Temanggung, masih menusuk tulang ketika Dedy Satrya menatap puncak Sindoro yang samar tertutup kabut. Bagi banyak orang, kabut itu hanyalah fenomena alam biasa. Tapi bagi Dedy, kabut itu adalah simbol dari ujian pertama dalam ekspedisi yang ia beri nama TRIPLE S — singkatan dari Sindoro, Sumbing, dan Slamet.
Ekspedisi ini bukan sekadar perjalanan menaklukkan tiga gunung tinggi di Jawa Tengah. Bagi Dedy, ini adalah perjalanan batin, ujian daya juang, dan bentuk rasa syukur terhadap alam yang selama ini menjadi “guru” dalam setiap langkahnya sebagai jurnalis petualangan.
Gagal di Sindoro, Tapi Tidak Menyerah
Pendakian pertama dimulai dari jalur Kledung, rute yang terkenal dengan pemandangan indah perkebunan tembakau dan jalur berpasir yang menantang. Namun cuaca tidak bersahabat. Kabut tebal berubah menjadi badai kecil di sekitar Pos 3, membuat jarak pandang hanya beberapa meter.
“Waktu itu cuma bisa dengar suara angin dan gesekan tenda. Rasanya seperti di tengah laut tanpa arah,” kenang Dedy.
Keputusan berat pun diambil — turun kembali demi keselamatan. Gagal di Sindoro bukan akhir, tapi awal dari tekad yang lebih kuat. Beberapa hari kemudian, cuaca membaik, dan ia kembali menapaki jalur yang sama. Kali ini, langit bersahabat, dan matahari menuntunnya sampai puncak 3.153 mdpl.
“Puncak Sindoro itu seperti hadiah setelah badai. Aku belajar bahwa kegagalan cuma jeda, bukan titik,” ujarnya.
Sumbing: Saudara Kembar yang Tak Kalah Gagah
Tak jauh dari Sindoro, Gunung Sumbing menanti. Jalur Kledung kembali dipilih — kali ini dengan persiapan matang. Trek Sumbing lebih terjal, dengan bebatuan tajam dan tanjakan tanpa ampun.
Namun, di setiap langkahnya, Dedy menemukan ketenangan. Ia bertemu pendaki lain, bertukar cerita di tengah kabut tipis, dan menyadari betapa pegunungan selalu menyatukan manusia tanpa memandang latar belakang.
“Di atas sana, semua orang sama. Yang membedakan cuma siapa yang lebih sabar melangkah,” ucapnya sambil tersenyum.
Slamet: Penutup yang Mengajarkan Rendah Hati
Perjalanan terakhir menuju Gunung Slamet dilakukan lewat jalur Bambangan, salah satu rute klasik menuju puncak tertinggi di Jawa Tengah. Di sinilah seluruh kelelahan dan pengalaman sebelumnya berpadu. Jalur panjang, kabut yang datang dan pergi, serta dingin menusuk menjadi bagian dari ritme perjalanan.
Puncak Slamet, 3.428 mdpl, akhirnya ditapaki saat matahari mulai menyapa ufuk timur. Dedy berdiri di antara awan, membentangkan bendera kecil bertuliskan “TRIPLE S EXPEDITION”. Tidak ada sorak sorai, hanya senyum tenang dan pandangan jauh ke cakrawala.
“Gunung bukan tentang siapa yang tercepat mencapai puncak, tapi siapa yang paling tulus menikmati perjalanan,” katanya lirih.
Tiga Gunung, Satu Pelajaran dan Pengalaman
Dari Sindoro yang badai, Sumbing yang menanjak, hingga Slamet yang megah, Dedy Satrya menutup ekspedisi TRIPLE S bukan dengan euforia, melainkan rasa syukur.
Perjalanan itu mengajarkannya arti keteguhan, kesabaran, dan hubungan manusia dengan alam. Di balik dingin dan terjalnya batu, selalu ada kehangatan yang lahir dari tekad dan doa.
“Kadang kita harus tersesat di kabut dulu untuk tahu arah yang benar,” tulisnya di catatan lapangan yang kini menjadi inspirasi banyak pendaki muda.
Tentang TRIPLE S
Ekspedisi TRIPLE S adalah perjalanan pribadi Dedy Satrya, seorang jurnalis Adventure yang berkomitmen mengeksplorasi keindahan dan filosofi pegunungan Indonesia. Ekspedisi ini dilakukan untuk mengangkat semangat keberanian, pelestarian alam, dan kecintaan terhadap tanah air melalui lensa human interest dan pengalaman nyata di lapangan.












