Desa Siaga Sukadami, Oase di Tengah Modernisasi Industri

Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono bersama Kepala Desa Sukadami saat Launching Desa Siaga (14/6/2025)

Kabupaten Bekasi — Suara deru mesin pabrik berpadu dengan arus lalu lintas yang padat menjadi musik sehari-hari di Kabupaten Bekasi. Di wilayah dengan lebih dari 3,27 juta jiwa penduduk dan UMR tertinggi di Indonesia ini, industrialisasi telah menjadi denyut nadi kehidupan. Namun, di tengah hiruk pikuk kawasan industri terbesar di Asia Tenggara itu, muncul sebuah oase kepedulian — Desa Siaga Sukadami.

*Beban Kesehatan di Tengah Kemajuan

Kemajuan industri ternyata meninggalkan jejak masalah kesehatan. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi mencatat, ada 14.632 kasus tuberkulosis (TBC) sepanjang 2024, dan 4.637 kasus baru pada Januari–April 2025. Angka ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah untuk mencapai target eliminasi TBC pada 2030, sejalan dengan target nasional  maksimal 65 kasus per 100.000 penduduk.

Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Bekasi, Irfan Maulana, menyebutkan pihaknya terus memperkuat kapasitas layanan, baik dari segi fasilitas pemeriksaan maupun SDM kesehatan.

“Kami rutin memvalidasi data TBC setiap semester untuk mencegah kasus tidak terlaporkan, sesuai Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/660/2020,” 

*Luncurkan Aplikasi SINTESA (Sistem Informasi Tuberkulosis Desa),

Integrasikan data kasus dari tingkat desa hingga kabupaten. Melalui sistem ini, kepala desa atau lurah mendapat notifikasi otomatis bila muncul kasus baru.

Untuk mempercepat deteksi, Kabupaten Bekasi kini memiliki delapan unit alat tes cepat molekuler (TCM) di rumah sakit dan puskesmas. Selain itu, dibentuk pula Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TB) serta Koalisi Organisasi Profesi dalam Penanggulangan TBC (KOPI TB) guna memperkuat kolaborasi lintas sektor.

Desa Sukadami, Inspirasi dari Akar Rumput

Harapan besar itu menemukan bentuk nyatanya di Desa Sukadami, Kecamatan Cikarang Selatan, yang kini dikenal sebagai Desa Siaga TBC pertama di Jawa Barat. Desa ini menjadi contoh keberhasilan pendekatan berbasis masyarakat dalam melawan TBC.

Pada 14 Juli 2025, Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono, mengunjungi Sukadami untuk meresmikan Program Desa Siaga TBC.

Kalau kepala desanya aktif menanggulangi TBC, maka kader dan relawan pun hadir dan bergerak dengan ikhlas. Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga kepemimpinan dan gotong royong di desa,” ujar Prof. Dante.

Dengan penduduk lebih dari 56 ribu jiwa, Sukadami berhasil membangun kesadaran kolektif. Program inovatif seperti ‘Masker TB’, pembentukan komunitas peduli TBC, serta pelatihan kader dan relawan menjadikan desa ini pionir dalam penanggulangan TBC di tingkat akar rumput.

*Kader dan Relawan: Garda Terdepan Perubahan

Di balik keberhasilan Sukadami, ada peran penting para kader dan relawan Kampung Siaga. Setiap minggu, mereka mengikuti pelatihan di balai desa. Delapan kader dan empat relawan aktif belajar mengenali gejala TBC, melakukan pendampingan pasien, hingga memberikan edukasi rumah ke rumah.

“Kader desa adalah ujung tombak deteksi dini TBC. Mereka yang pertama kali berinteraksi dengan warga,” kata Kepala Desa Sukadami adalah H.M. Kunang

Pelatihan ini tidak hanya membekali kader dengan pengetahuan medis dasar, tapi juga kemampuan komunikasi empatik — penting agar pasien merasa didukung dan tidak menyerah di tengah pengobatan panjang yang bisa mencapai enam bulan.

*Kepedulian relawan kepada penderita TBC

Beberapa relawan Kampung Siaga Sukadamai berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah kecil milik Pak Darto (52), seorang penderita TBC yang sedang menjalani pengobatan.

Rudi Hartono, koordinator relawan Tanpa seragam resmi, mereka datang membawa obat dan makanan tambahan.

“Assalamu’alaikum, Pak Darto. Ini waktunya minum obat, ya,” sapa lembut Siti Nurlela, relawan muda yang juga guru honorer.

Sudah tiga bulan mereka rutin datang. “Awalnya kami cuma bantu antar obat,” “Tapi setelah tahu banyak pasien berhenti karena bosan atau malu, kami sadar — mereka butuh teman bicara, bukan cuma obat.”

Kini, Pak Darto mulai pulih dan tersenyum lagi. “Kalau bukan karena relawan, saya mungkin sudah berhenti minum obat,” ujarnya lirih.

Relawan juga mengajarkan keluarga pasien cara menjaga kebersihan rumah, pentingnya ventilasi udara, serta memberi edukasi soal gizi. Kadang, mereka membawa bubur kacang hijau atau telur rebus hasil urunan sesama anggota.

*Suka dan Duka di Lapangan

Kerja sukarela ini tentu tak selalu mudah. Hujan deras, medan jauh, bahkan stigma sosial sering menjadi tantangan.

“Kadang orang masih takut berdekatan dengan pasien TBC,” tutur Nurlela. “Padahal kalau patuh minum obat dan hidup bersih, bisa sembuh total.”

Namun, semangat mereka tak pernah padam. Relawan Kampung Siaga Sukadami kini beranggotakan lebih dari 12 orang, dari berbagai profesi — petani, buruh, guru, hingga pelajar. Semua bergerak dengan satu tujuan: Desa Bebas TBC.

*Harapan dari Kampung Siaga 

Kini, Sukadami menjadi mitra aktif Puskesmas dan Pemkab Bekasi dalam program Indonesia Bebas TBC 2030. Gerakan kecil dari desa industri ini menjadi inspirasi besar bagi daerah lain.

“Kami bukan dokter,” kata Nurlela, tersenyum. “Tapi kami percaya, obat paling ampuh adalah perhatian dan kasih sayang.”

Pak Darto salah satu pasien TBC Setelah enam bulan menjalani pengobatan penuh,  bergairah, semangat sembuh terasa begitu nyata — bukan hanya karena obat yang diminum, tapi karena ada relawan yang tak pernah lelah datang dengan hati.

“Kami ingin kampung kami benar-benar bebas TBC. Bukan cuma slogan, tapi nyata. Semoga semakin banyak warga yang sadar pentingnya pemeriksaan dan pengobatan,” kata Siti menutup pembicaraan dengan senyum penuh harap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *