Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, bertindak cepat dengan memanggil pemilik izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat. Langkah ini diambil menyusul kekhawatiran masyarakat terhadap dampak lingkungan akibat aktivitas tambang di wilayah konservasi tersebut.
Bahlil menyampaikan bahwa pemanggilan ini merupakan bagian dari evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mentolerir praktik tambang yang tidak mematuhi kaidah lingkungan dan tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat adat.
“Akan kami panggil semua pemilik IUP di Raja Ampat. Evaluasi ini penting karena kita harus menghargai kearifan lokal dan menjaga kelestarian alam Papua,” kata Bahlil dalam keterangan pers, Senin (3/6/2025).
Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan Papua Barat Daya, terdapat dua perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat, yaitu PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining. Keduanya telah memiliki izin sebelum pemekaran wilayah Papua Barat Daya.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat sebelumnya mengungkapkan kegelisahan atas terbatasnya kewenangan daerah dalam mengawasi izin tambang yang dikeluarkan pemerintah pusat. Mereka mendesak agar ada evaluasi ulang terhadap kebijakan yang membatasi peran daerah, agar masyarakat lokal bisa lebih berdaya dalam mengelola sumber daya alamnya.
Bahlil juga menyinggung kemungkinan pembangunan smelter di wilayah Papua Barat Daya sebagai bentuk pemerataan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Namun, ia menegaskan bahwa pembangunan tersebut tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup.
Evaluasi terhadap tambang nikel di Raja Ampat menjadi langkah awal pemerintah dalam menyeimbangkan kepentingan investasi, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat adat Papua. Hasil evaluasi ini akan menentukan masa depan aktivitas tambang di kawasan yang dikenal sebagai surga biodiversitas dunia.