Sosial  

Mandat UU 18/2008: Penataan dan Penutupan TPA Open Dumping

Ditulis Oleh Bagong Suyoto Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)

Ketua Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI)

Berita-Net-Permasalahan sampah di Indonesia tak kunjungan beres! Apa akar masalahnya? Apakah sudah menjadi bentuk kebiasaan buruk kolektif, budaya dan peradaban tidak peduli dengan sampah, meskipun sampahnya sendiri? Ketika belum ada regulasi nasional, bisa saja mengelak dengan berbagai dalih, karena belum memiliki undang-undang atau panduan nasional.

Setelah kita memiliki UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, apakah kita masih punya alasan, bahkan sampah tidak diolah dan menjadi masalah semakin serius, ruwet dan kompleks?!! UU tersebut disahkan 7 Maret 2008. Berarti hingga 2025 umurnya sudah 17 tahun. Pemerintah kabupaten/kota masih punya banyak alasan, seperti anggaran minim, infarstruktur dan teknologi minim, kesadaran masyarakat rendah, dll.

Jika semua pemerintah kabupaten/kota taat aturan, berarti urusan sampah bisa ditangani secara baik dan benar, sampah diolah mulai dari sumber dan sisa-sisanya dibuang ke TPA. Juga, tidak ada TPA open dumping atau pembuangan terbuka. Karena satu tahun sejak UU tersebut disahkan pemerintah kabupaten/kota harus membuat perencanaan penutupan TPA open dumping dan 5 tahun kemudian harus menutupnya.

Sekarang tahun 2025 di Indonesia ada 343 unit TPA dikelola secara open dumping, sebagian sudah overload, darurat. Persoalan yang dihadapi tersebut sangat berat. TPA open dumping tidak memiliki infrastruktur utama yang sangat diperlukan, seperti instalasi pengolahan air sampah (IPAS), leachate langsung mengalir ke drainase dan sungai selama tahun-tahun, mungkin lebih 30 tahun. TPA open dumping tidak punya manajemen gas-gas sampah, sehingga riskan terbakar pada musim kemarau. Semua sampah dimasukan ke TPA, dan tidak punya teknologi pengolahan sampah. TPA tidak memiliki ruang terbuka hijau (RTH) dan green belt.

Selain persoalan TPA open dumping dan overload, juga persoalan lain yang sangat mengganggu estetika, pencemaran lingkungan, ancaman kesehatan, yaitu munculnya puluhan hingga ratusan TPS liar dalam satu kabupaten/kota, terutama yang wilayahnya padat penduduk dan tumbuhnya perumahan/real estate. Mungculnya TPS liar disinyalir karena tidak adanya pengolahan sampah di sumber dan hanya mengandalkan TPA.

Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup RI DR. Hanif Faisol Hanif menyatakan, timbulan sampah nasional tahun 2023 sekitar 56,63 juta ton/tahun. Capaian pengelolaan sampah nasional 39,01% (22,09 juta ton/tahun). Kondisi TPA tahun 2023 sebanyak 12,37 juta ton/tahun sampah ditimbun di TPA open dumping. Sebanyak 54,44% tempat pemrosesan akhir (TPA) di Indonesia adalah TPA open dumping (343 unit TPA). Timbulan sampah yang dilakukan di TPA seluruh Indonesia, dengan asumsi beroperasi 30 tahun, kurang lebih 1,72 miliar ton.

Hal ini disampaikan Menteri LH/Kepala BPLH dalam “Diskusi Rencana Penataan dan Penutupan TPA Open Dumping” dengan kalangan Asosiasi Produsen dan Bank Sampah, lembaga yang menaungi pemulung dan pelapak di Ruang Kalpataru KLH/BPLH, Jakarta, 25 Februari 2025. Kami diundang oleh Ade Palguna Deputi PSLB3 KLH/BPLH. Kami mewakili Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI).

Lebih lanjut Menteri LH/Kepala BPLH mengatakan, TPA open dumping tersebut berada di 343 daerah, 6 unit di provinsi merupakan TPA Regional. Sedang sebanyak 41 unit di kota dan sebanyak 286 kabupaten. Mereka masih mengelola TPA secara open dumping dan sangat rentan terhadap pencemaran lingkungan dan ancaman kesehatan masyarakat. Menteri LH/Kepala BPLH telah menyampaikan surat teguran kepada 343 Kepala Daerah yang masih mengelola TPA open dumping.

Mandat UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 29 ayat (1) huruf f: setiap orang dilarang melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir. Pasal 44 ayat (1): Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini. Pasal 44 ayat (2): Pemerintah daerah menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.

Selanjutnya dalam PP No 81/2012 dinyatakan secara jelas: Pengoperasiaon TPA harus memenuhi persyaratan teknis pengoperasian TPA yang ditetapkan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum, yakni sanitary landfill/ controlled landfill. Dalam hal TPA tidak dioperasikan sesuai dengan persyaratan teknis harus dilakukan penutupan dan/atau rehabilitasi.

Rencana Tindak Lanjut
Menteri LH/Kepala BPLH menekankan sangat mendesaknya rencana tindak lanjut penataan TPA open dumping di Indonesia. Pertama, mengingat TPA open dumping telah menyebabkan pencemaran lingkungan, maka sebagaimana ketentuan pada Pasal 73 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka Menteri LH/ Kepala BPLH dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Kedua, sebagaimana Pasal 77 UU N0. 32/2009, jika dalam hasil pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan, maka KLH/BPLH dapat memberikan sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah.

Penutupan TPA open dumping akan dilakukan secara permanen dan bertahap, dengan kreteria sebagai berikut. Penutupan TPA open dumping secara permanen, yang dimaksud adalah aktivitasnya dihentikan.

Menurut Menteri LH/Kepala BPLH, kreteria TPA open dumping yang ditutup terpanen, yaitu: (a) Dikelola dengan sistem open dumping; (b) Menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius; (c) Keberadaan TPA sudah tidak lagi sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)/ Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) suatu kabupaten/kota/provinsi; (d) Telah dalam kondsi penuh/melebihi kapasitas dan tidak memungkinkan untuk dilakukan rehabilitasi; (e) Memiliki fasilitas pengolahan sampah berupa Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), atau fasilitas lainnya; (f) dan Terdapat potensi lokasi lain sebagai alternatif untuk TPA baru atau untuk pembangunan baru fasilitas pengolahan sampah dengan kapasitas besar.

Sedangkan kreteria penutupan TPA open dumping secara bertahap, yaitu: (a) Dikelola dengan sistem open dumping; (b) Kondisi TPA masih memungkinkan untuk direhabilitasi; (c) TPA telah menimbulkan masalah lingkungan sehingga rehabilitasi dilakukan untuk meminimalkan permasalahan lingkungan yang terjadi; (d) Apabaila masih memiliki atau sudah memiliki lahan lain untuk perluasan lahan lain utnuk perluasan (lebih dari 2 Ha); (e) Penanggung jawab TPA berkomitmen untuk melakukan penataan TPA agar dapat dikelola dengan sistem sanitary landfill/controlled landfill. Di sini tumpukan-tumpukan sampah ditata rapi dan di-cover soil dan leachate diolah di IPAS.

Menata Kerja Pemulung dan Pelapak

Jangan takut memindahkan sampah ke tempat-tempat pengolahan yang berdekatan dengan sumber sampah. Sampah merupakan sisa-sisa kegiatan manusia dan proses alam. Anggap saja, sampah adalah benda mati tergantung bagaimana kita mau mengelolanya. Pemerintah sebagai leading sector adalah penentu dalam pengelolaan sampah. Otoritas dan kewenangannya berdasar mandat UU. Berhasil tidaknya mengelola sampah tergantung pemerintah, sebagai leading sector. Secara teknis, pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.

Jangan khawatir dengan pemulung dan pelapak, dimana ada sampah di situ ada pemulung mengais sampah dan pengepul sampah. Sampah yang di taruh di pusat-pusat pengelolaan, pemulung dan pelapak akan datang.

“Di mana ada pembuangan sampah di situ ada pemulung, atau sebaliknya, di mana ada pemulung di situ ditemui sampah. Pemulung memiliki pekerjaan sebagai pengais sampah. Antara sampah dan pemulung bagaikan dua sisi mata uang. Pemulung tidak peduli meskipun hidup di bawah kolong jembatan atau kolong langit yang penting berdekatan dengan tempat pembuangan sampah.” (Tri Bangun L. Sony dan Bagong Suyoto, Pemulung Sang Pelopor 3R Sampah, 2008: 4).

Ada dua jenis pemulung dalam menjalankan pekerjaanya. Pertama, pemulung tidak menetap (mobile), artinya pemulung yang memungut sampat keliling dari gang-gang kampung, TPS-TPS, taman kota, pinggir jalan, pinggir Sungai, dll. Kedua, pemulung yang mencari sampah menetap, contoh di TPA sampah. Mereka menetap di sekitar TPA, seperti TPST/TPA Bantargebang, TPA Sumurbatu, TPA Burangkeng, TPA Rawa Kucing, TPA Galuga, TPA Sarimukti, dll.

Contoh dulu di Jakarta, ada pembuangan sampah di Kebon Jeruk, Rawasari kemudian ditutup untuk pembangunan berbagai insfrastruktur. Ada pembuangan sampah di Cakung Cilincing Jakarta, dll. Ketika ditutup beberapa tahun, dan selanjutnya pembuangan sampah dipindahkan, tidak ada masalah. Ketika pembuangan sampah Cakung Cilincing dipindahkan ke TPA Bantargebang tahun 1989-an pemulung dan pelapak ikut pindah ke Bantargebang. Pemulung dan pelapak mengikuti pembuangan sampah. Malah pemulung senang tinggal di Bantargebang.

Pemulung dan pelapak akan mengikuti aturan pemerintah mulai dari tingkat paling bawah, RT/RW hingga bupati/walikota. Di mana mereka bermukim akan mengikuti peraturan wilayah setempat. Apalagi pemulung pendatang, mereka akan mengikuti aturan dan budaya dominan setempat (mimicry). Jika pemerintah mengharuskan mengelola sampah sedekat-dekatnya dengan sumber, mereka akan mengikuti.

Jika harus mengikuti lembaga, infastruktur, tatanan yang dibuat pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota, maka mereka pun mengikuti. Mereka itu hanya mencari makan, yang penting diakui dan dilindungi pemerintah. Hak asasi paling dasar dihargai dan dihormati, seperti memperoleh pekerjaan dan hidup layak. Bahkan, akan lebih senang jika pemerintah memfasilitasi dan memberikan insentif.

Pemulung dan pelapak akan mengikuti dan mendukung rencana besar pemerintah, yaitu Kementerian LH/BPLH dan pemerintah kabupaten/kota. Bagi mereka yang terpenting memperoleh pendapatan layak, bisa makan, dapat menabung serta dapat meningkatkan tarap hidupnya. Sehingga terjadi perbaikan status sosial ekonomi, minimal anak-anaknya mempunyai pendidikan SMU/SMK atau universitas. Dengan pendidikan tinggi anak-anaknya akan punya peluang kerja, income dan status lebih baik.* 4/3/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *