Di tulis oleh Bagong Suyoto
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
Ketua Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI)
Jangan pernah menyerah! Peluang secekil apun harus diraih. Jika peluang belum ada harus dicari dan terus dicari. Yakni peluang untuk bisa sekolah. Tak peduli anak keluarga pemulung miskin, orang tua buta huruf.
Khoidir Rohendi (55 thn) dan Ida Ummi Kulsum pengurus Yayasan Al-Muhajirin Bantargebang (YAB) membuka peluang bagi anak pemulung, anak warga miskin dan anak yatim piyatu agar mereka semua bisa bersekolah. Peluang terbuka lebar, tidak ada halangan, yang penting punya kemauan kuat dan mau giat belajar.
Tempat bersekolah sudah disediakan, terutama level Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi/universitas akan difasilitasi untuk mendapatkan beasiswa dari orang tua angkat atau penjamin. Jika punya keinginan yang kuat maka akan terbuka jalan bagi siapa pun.
Kisahnya, sekolah yang dirintis Rohendi dan Ummi berawal dari musholla kecil, dikenal dengan Musholla Al-Muhajirin. Dari sini mereka membuka TPQ, PAUD/TK, Majlis Ta’lim pada 2000-an dan terus berkembang, kemudian 2013-an membuka pendidikan MTs dan MA tahun 2018/2019 MA.
Keinginan membuka lembaga pendidikan karena fakta bicara. Mayoritas pemulung TPST Bantargebang Kota Bekasi tidak tamat sekolah dasar (SD) dan tamat SD. Hal ini berdasarkan hasil advokasi selama lebih dari 25 tahun. Pemulung yang terjun di sini pada umumnya menyatakan, usaha di sampah tidak perlu pendidikan tinggi, modal kecil, tidak perlu daftar seperti di perusahaan, yang penting mau, tahan bau, badan sehat dan kuat.
Data mengenai pendidikan secara ilmiah dari lebih 6.000 pengais sampah di TPST Bantargebang dan 400 pemulung TPA Sumurbatu Kota Bekasi ada. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama (pemerintah dan NGOs). Boleh jadi sudah ada yang melakukan riset, namun belum menyeluruh.
Pemulung Berpendidikan Rendah
Sejumlah penelitian memperkuat fakta tentang rendahnya pendidikan pemulung (muda dan dewasa). Contoh hasil penelitian berjudul “Sosio Kultur Pemulung dan Peranannya dalam Mengkategorisasikan Barang Bekas sebagai Bahan Pendukung Media Pembelajaran di Sekolah” (Suhartono Evan Sukardi, Jurusan Pendidikan Dasar FKIP Universitas Terbuka, 2012).
Riset tersebut mengungkapkan, pemulung mayoritas adalah berjenis kelamin laki-laki (85%) sedangkan sebagian perempuan (15%). Usia pemulung didominasi oleh usia dewasa (61,9%) anak-anak (9,5%) dan remaja (28,6%). Sebagian besar pemulung tidak tamat SD (65%), (15%) tamat SD, SMP (5%) dan sisanya tidak pernah sekolah.
Data primer dikumpulkan dengan kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen dan dokumentasi wilayah Pamulang 2. Waktu penelitian Agustus-November 2012 dan dilanjutkan pada bulan Januari-Maret 2013. Responden dalam penelitian berjumlah 48 pemulung dari 126 jumlah pemulung yang ada di 12 titik lokasi lapak/Bandar yang menyebar di wilayah Pamulang 2 dengan menggunakan teknik satu tahap (Cluster Random Sampling).
Riset di atas diperkuat penelitian di Yogyakarta dari 23 pemulung sebagai responden didapatkan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 83% dan perempuan 17%. (BH Nugroho, UII, 2017). Tingkat pendidikan mereka SD sebesar 60%, tidak sekolah sebesar 10%, SMP sebesar 30%, tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya karena keterbatasan biaya. Dapat disimpulkan, bahwa pemulung di TPA Baleharjo memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Pemulung dikategorial sebagai sektor informal. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Di negara-negara sedang berkembang (NSB), sekitar 30-70% populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor informal. (Tri Widodo, UGM, 7 Maret 2005). Pendidikan dan skill-nya rendah, modal kecil, dll.
Karakteristik dan kondisi sosial dan pendidikan pemulung seperti di atas yang didampingi YAB, Koalisi Persampahan Nasiona (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI), Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) dan Komunitas Pemulung Bantargebang Sejahtera (KPBS). Mayoritas berpendidikan rendah, bahkan ada tida bisa baca tulis.
Mereka tinggal di gubuk kumuh dari material bekas dengan sanitasi buruk. Pemukiman mereka sangat tidak layak dan di tempat lingkungan tercemar. Biasanya mereka terserang penyakit ISPA, disentri, alergi kulit, radang paru-paru, dll. Ketika memasuki umur 50 tahun ke atas terserang penyakit “bengek” atau asma.
Hak Mendapat Pendidikan
Jika anak pemulung menjalani proses pendidikan dengan baik dan konsisten tidak terjadi kawin muda. Proses atau fasenya, mulai PAUD/TK sampai umur 6-7 tahun, lulus SD umur 12 tahun, lulus SMP umur 15 tahun, lulus SMU umur 18 tahun, lulus S1 umur 22-25 tahun.
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Dalam UUD 1945 Pasal 28 dijelaskan bahwa hak asasi manusia ialah hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi hingga hak untuk mendapatkan pendidikan. Ini merupakan hak asasi paling dasar yang diakui dunia internasional.
Isi Pasal 31 UUD 1945 setelah amandemen adalah: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Selanjutnya, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 10% dari anggaran pendapatan negara dan daerah. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Mengapa pendidikan sangat penting? Pendidikan guna meningkatkan wawasan, pengetahuan dan skill. Pendidikan memberikan akses terhadap pengetahuan dan informasi yang dapat membuka pintu bagi pemahaman lebih mendalam tentang dunia kita. Berdasar UU No. 2/1985, tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya (cerdas secara komprehensif). Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia atau proses humanisasi melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya (Tilaar, 2002: 435).
Kawin Muda dan Transfer Kemiskinan
Anak-anak pemulung yang tidak meneruskan setelah tamat SD atau SMP atau drop out akan melanjutkan pekerjaan orang tua sebagai pengais atau tukang sortir sampah. Anak-anak itu membantu ekonomi keluarga. Bahkan, yang menyedihkan mereka mentransfer kemiskinan orang tuanya.
Bahkan, ada beberapa kasus anak muda menggantikan peran orang tua. Awalnya ikut mengasi sampah. Ketika status orangtuanya naik menjadi pengepul sampah, anak tersebut pun ikut mengurusi usaha tersebut. Kemudian, orangtua itu menyerahkan usaha perlapakan sampah pada anaknya. Sehingga anak-anak muda tersebut menanggung beban semakin berat, termasuk menanggung hutang ketika usahanya bangkrut, sehingga waktunya habis. Mereka tak sempat bersekolah.
Kasus lain, anak-anak perempuan (pemulung) yang tidak meneruskan pendidikan sesudah lulus SD atau SMP, biasanya kawin pada usia muda. Mereka kawin karena kecelakaan “hamil di luar nikah”, atau karena terpaksa (tekanan orangtua) akibat kemiskinan orangtua. Perkawinan usia mudah merupakan problema tersendiri.
Resiko kawin usia muda diantaranya masalah kesehatan mental, memicu tekanan sosial, mengalami kecanduan (kawin lagi), peningkatan resiko infeksi menular seksual, terjadi KDRT, masalah ekonomi (kemiskinan), rentan keguguran, meningkatkan risiko kematian pada ibu muda dan bayi, rentan terjadi perceraian, resiko stunting pada bayi yang dikandung ibu muda, meningkatkan risiko depresi, trauma, dan stres pada pasangan.
Setidaknya harus ada upaya-upaya progresif untuk menghapus potret buram keluarga dan anak-anak pemulung di Indonesia. “Waktu bermain anak-anak adalah penting untuk kesejahteraan anak dan tidak bisa disepelekan. Hal itu menjadi 4 bagian penting dari Konvensi PBB akan hak anak, yaitu: tidak diskriminasi, hak hidup dan berkembang, hak pendidikan, dan hak berpartisipasi”. (“Hak Bermain Berdasarkan Hukum, Berani”, Weekly Newspaper 24-30 Sept 2012/Th VI/No.37, hal. 4).
Hukum yang berhubungan dengan hak-hak tertuang dalam UU No. 23/2022 tentang Perlindungan Anak yang harus disosialisasikan kepada orang tua dan kalangan luas agar dapat memahami kehidupan anak secara utuh. Peluang perkembangan anak secara totalitas harus dijamin oleh keluarga, lingkungan dan negara. (Bagong Suyoto, 2015).
Hak-hak anak diatur dalam UU No. 23/2022 tentang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002). Berlakunya tersebut merupakan konsekuensi dari Indonesia sebagai negara hukum serta diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Anak.
Selanjutnya, bahwa program atau kegiatan pendidikan harus diarahkan seperti yang telah menjadi kesepakatan internasional dan nasional, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional. Yaitu pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Education for Sustainable Development, ESD). Pada kurun 2005-2014 merupakan Decade of ESD, yang diusulkan dalam Johannesburg Plan of Implementation, 2002, diterima dalam Sidang Umum PBB pada Desember 2002. (Bagong Suyoto, 2015).
Selanjutnya The International Implementation Scheme (IIS) untuk DESD ditetapkan pada September 2005. Indonesia sebagai negara anggota UNESCO diharapkan memasukkan ESD dalam strategi dan perencanaan bidang pendidikan. (Prof. Dr. Arief Rachman, MP.d, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO dan Ella Yulaelawati, Ph.D., Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Formal Kemendiknas, 2010).
Pembangunan berkelanjutan (sustainable developmen) adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa menghilangkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. (… development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Seterusnya, sustainable development is to create a proper balance between economic, social, culture and eceological development and need. (World Commission on Environment and Development, 1987, Our Common Future, Orford University Press, Oxford, p. 43).
Pemahaman ini harus ditanamankan kepada anak-anak sejak usia dini, bahwa menjadi sangat penting bagi pemuda dan orang dewasa. Hal ini harus dikaitkan dengan kebijakan nasional dan peraturan perundangan yang ada, misal mereka harus mengenal dan mengetahui isi UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan lainnya.
Bagi yang bermukim di sekitar TPST/TPA sampah selayaknya mengetahui isi UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 17/2023 tentang Kesehatan, dst. Supaya mereka menjadi paham dan terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak mereka harus tetap bersekolah, berhak mendapat rumah yang layak, tempat bermain yang aman, dan hak paling dasar lainnya.* 23/7/2024