Berita  

Kejahatan Lingkungan Terstruktur Pengelolaan TPA Ilegal

Oleh Bagong Suyoto
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI)

Istilah “kejahatan lingkungan terstruktur” muncul Ketika Ditjen Gakkum dan Direktorat Pengelolaan Sampah Ditjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengadakan konferensi pers pada 1 Maret 2022. Hal ini berkaitan dengan lima pengelola TPA illegal, 2 orang dari Tambun Selatan dan 3 orang di Kedaung Kota Tangerang yang dijadikan tersangka dengan ancaman penjara 15 tahun dan denda hingga Rp 15 miliar.

Para pengelola TPA illegal itu berkegiatan di DAS atau pinggir kali. Kasus TPA illegal di Kabupaten Bekasi berada di pinggir kali CBL (Cikarang-Bekasi-Laut), dan di Kota Tangerang berada di pinggir Kali Cisadane. Bahkan, TPA illegal di wilayah Kota Tangerang tersebut terindikasi bercampur limbah B3. TPA-TPA illegal itu sudah berjalan belasan tahun. Di sini sangat jelas, pemerintah daerah melakukan pembiaran. Setidaknya, pihak pemerintah kelurahan/desa, UPTD kebersihan boleh jadi sudah tahu, namun pura-pura tidak tahu.

Mereka melanggar Pasal 98 dan/atau Pasal 99 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mereka melakukan aktivitas mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (Larangan, Pasal 29 UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah).

Menurut Novrizal Tahar Direktur Pengelolaan sampah KLHK, bahwa mereka dikenakan intrumen hukum pidana agar mereka jera dan memberi efek yang lebih luas. Merupakan salah cara yang ditempuh untuk menghentikan penyebaran TPA illegal. Agar masyarakat mengelola sampah secara baik dan benar atau berawasan lingkungan.

Motif kegiatan TPA sampah illegal adalah finansial, menerima pembayaran, ada kutipan. Rasio Sani Ditjen Gakkum KLHK mengatakan, akan mendalami kejahatan terstruktur TPA illegal, ada pihak-pihak yang terlibat. Gakkum akan telus melakukan pengejaran terhadap pihak-pihak terkait.

Kita butuh diskusi dan pendalaman, mengapa TPA illegal tumbuh subur, terutama di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek)? Apakah kita punya data tentang TPA illegal di Jabodetabek dan Indonesia? Apa akar masalahnya? Dalam konteks ini apakah pemerintah dan pemerintah daerah sudah menjalankan mandat UU No. 18/2008.

Karena kasus munculnya TPA illegal akibat minimnya tingkat pelayanan (dibawah 50%), luasnya wilayah pelayanan, kurangnya infrastruktur, seperti tong/bak/container sampah, sarana dan teknologi, dukungan dana operasional, dll. Kedua, tumbuhkan ekonomi mengkota dan permukiman penduduk tanpa didukung sarana prasarana pengelolaan sampah. Tumbuhnya perumahan/real estate tanpa ketersediaan tempat pengelolaan sampah menyebabkan masalah baru yang serius, ujungnya muncul pembuangan sampah di pinggir jalan, saluran air, pinggir kali, dll. Ketiga, pemerintah daerah kurang serius mengelola sampah dari sumber.

Karena itu kita perlu melakukan evaluasi nasional tentang pengelolaan sampah. Kita Kembali pada kebijakan dan regulasi nasional tentang pengelolaan sampah. Berkaitan dengan Tugas dan Wewenang Pemerintah, Pasal 5 UUPS menyatakan: “Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.”

Selanjutnya Pasal 6, 7, 8, 9 UUPS. Kemudian diperkuat Pasal 11. Pasal 11 UUPS menyatakan: (1) Setiap orang berhak: a. mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pihak lain yang diberi tanggung jawab untuk itu; b. berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah; c. memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah; d. mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena terdampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah; dan e. memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan.

Pasal 12 UUPS menyatakan: (1) Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. … Kemudian Pasal 13 sampai Pasal 16 dan Pasal 45 UUPS. Pasal 13 secara jelas menyatakan: “Pengelolaan kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah”.

Semestinya, implementasi mandat UU No. 18/2008 dan PP No. 81/2012 menunjukkan peningkatan signifikan. Hal ini bisa menggunakan berbagai instrument, misal dengan Adipura. Salah satu solusinya, yakni pembangunan TPS3R atau Pusat Daur Ulang Sampah (PDUS) diterapkan minimal satu setiap kelurahan/desa. KLHK telah mengeluarkan panduan tersebut dan Kementerian PUPR sebenarnya telah menjalankan di sejumlah daerah. Sekarang tinggal 514 pemerintah kota/kabupaten harus bergiat massif membangunan TPS3R/PDUS dengan melibatkan berbagai elemen di masyarakat, termasuk bank sampah tergabung dalam ASOBSI.

Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI) dan Sekolah Pelangi Semesta Alam, dalam konteks ini mendorong agar pengelolaan sampah dari sumber dapat menggunakan prinsip gotong royong. Sebab di dalamnya ada aspek sosial budaya, selain ekonomi. Tujuan pengelolaan sampah adalah melindungi kesehatan masyarakat, lingkungan hidup dan mengembalikan sampah menjadi sumber daya. Di sini ada solusi ekologi dan ekonomi. Pengelolaan sampah dari sumber selain merupakan kewajiban, juga harus menjaga gerakan sosial masyarakat.

Sehingga kita mampu menanganai sampai 100% pada tahun 2025 atau 2030. Sebagaimana yang tertuang dalam Perpres No. 97/2017 tentang Jakstranas. Sementara di daerah sudah memiliki Jakstrada, namun masih ada sejumlah daerah belum punya. Penanganan sampah 100% lebih cepat lebih baik, dan kita mengurangi ketergantungan pada TPA.

Pendanan pembangunan TPS3R/PDUS bersumber dari APBN dan APBD atau pendanaan lain dari corporate social responsibility/extended producer responsibility (CSR/EPR). Pasal 24 UUPS menyatakan: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaran pengelolaan sampah. (2) Pembiyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. …

Porsi prosentasi anggaran pengelolaan sampah harus jelas dan semakin besar, setidaknya 5-10% dari APBN dan APBD. Semua harus fokus pada penyelesaian persoalan sampah yang beranak pinak. Jika tidak meletakan prioritas utama mulai tahun 2022/2023 ini maka boleh jadi akan muncul TPA-TPA illegal dan kejahatan lingkungan struktur di seluruh Indonesia. Dan, yang terkena getahnya adalah masyarakat dan lingkungan hidup.* 10/4/2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *